SMA Negeri 1 Omben Kab. Sampang

Belajar di Alam

Jalan Jalan Gak Cuma Sehat Kami Juga Belajar Dari Jalan-Jalan Yang Kami Lewati

Saat duduk di bangku sekolah dasar, berbagai peristiwa tersimpan dalam memori dan menjadi kenangan yang indah dan manis untuik di kenang. Saat kami kenang keterbatasan fasilitas dan memanfaatkan alam sekitar sebagai sumber belajar yang mengasyikkan. Terbayang dalam benak kami belajar menggambar di luar kelas sampai ke atas bukit di selatan gedung sekolah.

Hari itu pelajaran kesenian dan kami diberi kesempatan memilih oleh bapak guru, pilih bernyanyi atau pelajaran menggambar. Karena khawatir disuruh menyanyi ke depan kelas, kami memilih pelajaran menggambar. Pak Gaffar menyuruh kami menyiapkan peralatan menggambar dan keluar kelas untuk mengambil obyek gambar yang ada di luar kelas. Kami bebas memilih obyek yang kami inginkan. Namun yang paling penting nantinya setelah selesai menggambar bisa mempresentasikan gambar yang dibuat di hadapan teman yang lain.

Ada dua atau tiga orang siswa diminta untuk menjelaskan gambarnya kepada teman sekelas. Ruang kelas jadi gaduh dan berebutan untuk menanggapi gambar yang dipresentasikan di depan kelas. Ruang kelas yang menyenangkan, karena Pak Gaffar tidak menilai bagus  atau jelek tetapi mengajari kami untuk belajar menyampaikan gagasan-gagasan yang ada dalam pikiran sehingga memilih suatu obyek untuk digambar.

Kebiasaan ini sempat hilang ketika duduk di bangku SMP karena pelajaran menggambar menjadi pembelajaran yang serius dan kaku. Kami harus mengerjakan tugas sesuai dengan perintah guru dan kurikulum yang diampu. Rigid, kami merasakannya. Kebiasaan yang sudah terbangun waktu di sekolah dasar harus menyesuaikan dengan situasi dan cara yang baru.

Jalan jalan gak Cuma sehat tapi kami juga belajar dari jalan-jalan yang kami lewati.

Saya gagal untuk beradaptasi sehingga nilai mata pelajaran seni lukis yang saya ikuti sangat buruk dan saya menerima buku rapor dengan tulisan ballpoin warna merah untuk pelajaran seni lukis. Waktu itu nilai yang berada di bwah standar kelulusan di buku rapor ditulis dengan warna merah, manandakan nilainya tidak memenuhi syarat untuk lulus.

Ketika memasuki SMA saya mendapatkan dua tipe guru pendidikan seni. Pertama ketika duduk dibangku awal SMA kelas 1, memiliki guru kesenian yang pintar melukis dan mendidik disiplin kepada siswa-siswinya. Setiap tugas yang diserahkan tidak ada yang nilainya dibawah lima, jika menyerahkan tugas sesuai dengan waktu yang ditentukan. Tugas-tugas yang sudah dinilai dikembalikan kepada siswa. Setiap akhir semester seluruh tugas itu dikumpulkaan kembali membiasakan kepada siswanya untuk merawat karya yang telah dibuatnya. Jika misalnya gambar tidak lengkap maka nilai mata pelajaran kesenian dikurangi satu poin. Atau tidak akan dikurangi nilainya jika siswa bisa memberikan alasan logis kemana tugas yang tidak dikumpulkan.

Guru kesenian saat kelas XI, seorang guru muda, dekat dengan siswa, dan memiliki cara-cara mengajar yang menarik. Jika pelajaran kesenian guru menyuruh siswa menyiapkan alat gambarnya dan beliau memeriksa di pintu keluar. Siswa membawa perlengkapan menggambar, dan diminta untuk menggambar di lingkungan sekolah. Namun siswa yang tidak membawa peralatan menggambar diminta tetap di dalam kelas. Mereka harus melengakapi keperluannya untuk memnggambar di luar kelas.

Guru kesenian yang mengingatkan saya pada pelajaran kesenian ketika duduk di bangku sekolah dasar. Siswa diberi kebebasan untuk memmilih obyek lukisan tetapi diminta untuk menyampaikan alasan-alasan terhadap obyek yang dipilihnya. Kami sekelas merasa senang dan merasa punya kemampuan untuk menggambar atau melukis karena ada penghargaan terhadap karya yang dibuat, yaitu apresiasi di depan kelas.

Sebuah pengalaman belajar yang melekat dalam memori hingga sat ini. Memori inilah yang kemudian mengusik saya ketika ditugaskan untuk mengelola sekolah di kampung halaman. Pengalaman yang kembali bergerak dalam benak dan membaca lingkungan tempat saya bertugas sebagai lembaran pengetahuan yang perlu dibaca dan dituliskan.

***

Kami bersama siswa dan guru SMA Negeri 1 Omben biasa melakukan jumat sehat setiap awal bulan. Jalan-jalan mengelilingi kampung di sekitar sekolah dan kemudian melakukan kegiatan bersih-bersih di lingkungan sekolah.

Namun kali ini jumat sehat dilakukan dengan jalan keliling kampung di sekitar sekolah. Sebuah Kawasan hutan jati yang lebat dengan aneka semak yang rimbun. Mengamati apa yang ditemukan di sepanjang jalan, direkam dan diceritakan kembali dalam kegiatan diskusi bersama di dalam ruangan kelas.

Rombongan kami bagi dalam dua kelompok, yaitu; pertama, kelompok siswa yang mengamati bidang sosial masyarakat. Siswa diminta untuk melihat dan mengamati kehidupan sosial masyarakat dan kemudian melaporkannya dalam bentuk foto. Aktivitas kehidupan manusia di pagi hari baik di rumah, tegalan dan sawah.

Kelompok B mengamati lingkungan alam. Siswa diminta untuk mengamati alam dan kehidupannya. Aneka tumbuhan dan pohon yang menarik minatnya di sepanjang perjalanan. Siswa bisa mengamati hutan jati dan beberapa lahan tegal dan persawahan yang digarap pemiliknya.

Perjalanan ini sangat menarik, karena jalan yang dilalui jalan mendaki dan menurun dan sesekali melintasi jalan setapak untuk mengambil jalan pintas. Namun terasa lingkungan hijau segar. Hutan jati yang rimbun dan di sebelahnya ada hutan heterogen dengan aneka jenis tanaman di dalamnya. Salah satunya saya melihat banyak pohon kawista tumbuh di sisi barat hutan.

Suara burung saling bersahut. Gesekan sayap serangga mewarnai pagi yang cerah. Desir angin dan ranting saling bergesek membuat susana semakin tenteram karena tak kami dengar bising suara deru kendaraan bermotor. Tidak ada. Sesekali terdengar suara orang memanggil lawan bicaranya, dan penduduk kampung berangkat ke ladang untuk menggarap tanah.

Sekelompok rumah di antara rindang tanaman. Rumah yang asri dikelilingi pepohonan yang teduh. Halamannya luas dan beberapa orang di teras rumah menikmati pagi dan menyapa ramah kepada setiap yang melintas. Sebagian rumah terlihat lengang tanpa penghuni, rupanya ditinggal pemiliknya merantau ke Pulau Jawa.

Pemukiman tradisonal masih banyak ditemukan di kampung ini. Kobhung (langghar) di posisi tengah di ujung bagian barat. Dapur dan kandang di sisi selatan menghadap ke arah utara, dan di seberangnya deretan rumah keluarga menghadap ke selatan. Di tengah kompleks bangunan tersebut halaman rumah yang luas. Pola pemukiman tradidional yang dikenal dengan nama Taneyan Lanjhang.

Gambar atau foto yang diambil selama perjalanan kemudian disetor ke koordinator. Beberapa foto dipilih tayang untuk didiskusikan di ruang perpustakaan. Artinya setiap kelompok wajib menyerahkan hasil pengambilan gambar di lapangan. Gambar tersebut ditayangkan di layar lebar. Siswa yang memiliki gambar yang ditayangkan diminta untuk menceritakan dan mendiskusikan bersama temannya.

Kembali ke sekolah, siswa menyerahkan foto-foto yang diambil selama perjalanan. Siswa berkumpul di ruang perpustakaan dan foto-foto ditayangkan di layar lebar. Salah satu foto yang dipilih akan dijelaskan oleh pemiliknya. Bagaimana cerita dalam foto tersebut.  Pada sesi ini peran pendamping sangat penting untuk bisa mengulik informasi dari pemilik foto, mengapa foto tersebut menarik, apa yang bisa diceritakan dari foto yang ditayangkan. Apa saja pesan yang bisa diambil.

Satu sesi yang cukup menarik saat tiba tayangan beberapa orang petani istirahat di ladang di hadapannya satu unit traktor tangan, dan di dekatnya terdapat cangkul, ada ibu- ibu, dan lelaki usai bekerja dengan memakai celana kolor bertelanjang dada.

Pemilik foto menjelaskan bahwa tayangan tersebut menggambarkan keluarga petani yang ada di ladangnya. Mereka menggunakan traktor untuk menggarap tanah. Mereka tidak lagi memakai tenaga hewan untuk mengolah tanah, tetapi cukup menggunakan traktor tangan.

Siswa lain menyampaikan petani sudah tidak menggunakan lagi hewan peliharaan (Sapi) untuk menggarap tanah. Sebab traktor dirasa lebih pas, hemat tenaga dan bisa menggarap lahan lebih luas. Cangkul masih digunakan pak tani untuk menggarap lahan sempit yang tidak mungkin menggunakan traktor, atau membantu pak tani menyisihkan gulma yang ada di tegalan.

Diskusi ini semakin menarik karena juga berhubungan dengan pembahasan ekonomi pertanian dan pelestarian lingkungan. Mereka juga menyinggung persoalan gotong-royong dalam mengerjakan lahan sebagai salah satu kegiatan sosial pertanian.

Namun diskusi kami berakhir ketika waktu yang ditentukan telah sampai. Beberapa dari mereka masih ingin melanjutkannya. Kami pembina melihat bahwa ini langkah kami pertama dalam memanfaatkan jalan-jalan kami sebagai cara belajar di alam. Bukan hanya sekadar jalan, tetapi juga belajar. (Hidayat Raharja)

Tinggalkan komentar